Kamis, 18 Oktober 2012

SEJARAH PENULISAN AL QUR'AN

Pertama: Penulisan Al Qur'an di masa Rasulullah saw.

Atas perintah Nabi saw., Al Qur'an ditulis oleh penulis-penulis wahyu di atas pelepah kurma, kulit binatang, tulang dan batu. Semuanya ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan dan belum terhimpun dalam satu mushaf. Di samping itu ada beberapa sahabat yang menulis sendiri beberapa juz dan surat yang mereka hafal

dari Rasulullah saw.

Kedua: Penulisan Al Qur'an di masa Abu Bakar As Shiddiq.

Atas anjuran Umar ra., Abu Bakar ra. memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al Qur'an dari para penulis wahyu menjadi satu mushaf.

Ketiga: Penulisan Al Qur'an di masa Usman bin 'Affan.

Untuk pertama kali Al Qur'an ditulis dalam satu mushaf. Penulisan ini disesuaikan dengan tulisan aslinya yang terdapat pada Hafshah bt. Umar. (hasil usaha pengumpulan di masa Abu Bakar ra.). Dalam penulisan ini sangat diperhatikan sekali perbedaan bacaan (untuk menghindari perselisihan di antara ummat). Usman ra. memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur-Rahman bin Al Haris bin Hisyam.
Mushaf tersebut ditulis tanpa titik dan baris. Hasil penulisan tersebut satu disimpan Usman ra. dan sisanya
disebar ke berbagai penjuru negara Islam.

Keempat: Pemberian titik dan baris, terdiri dari tiga pase;

Pertama: Mu'awiyah bin Abi Sofyan menugaskan Abul Asad Ad-dualy untuk meletakkan tanda bacaan (i'rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan dalm membaca.

Kedua: Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu
huruf dengan lainnya (Baa'; dengan satu titik di bawah, Ta; dengan dua titik di atas, Tsa; dengan tiga titik di
atas). Pada masa itu Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hay bin Ya'mar.

Ketiga: Peletakan baris atau tanda baca (i'rab) seperti: Dhammah, Fathah, Kasrah dan Sukun, mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy.

Sumber: Al-Qur'an Online + Tafsir + Asbabun Nuzul

Rabu, 10 Oktober 2012

Adab Membaca Al-Qur’an


Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun. Al Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR: Bukhari)

Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:

Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang.
Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, “Orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)

Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:“Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami.” (HR: Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)

Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Qur’an setiap satu minggu (7 hari) (HR: Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.

Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS: Al-Isra’: 109). Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.

Membaguskan suara ketika membacanya.
Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR: Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, yang artinya: “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR: Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.

Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS: An-Nahl: 98)

Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih secara khusyu’.

Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, yang artinya: “Ingatlah bahwasanya setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al-Qur’an).” (HR: Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a’lam.